Narasi Fiksi #KawanAksara

Nasib sebuah layang layang berada di tangan pemainnya. Seorang pamain layang layang bebas menarik ulur layang layangnya. Namun hal tersebut bukan tanpa tujuan. Tujuan menarik ulurkan layang layangnya agar layang layang itu bisa terbang tertiup angin. Sang layang layang pun hanya terdiam, menerima, dan mengikuti irama tarik uluran itu walaupun dirinya terombang ambing, karna dia tau dengan begitu dirinya bisa terbang jauh. Tapi ketika dia sudah terbang, dia tidak terbang dengan bebas, ada seutas tali yang mengikat dirinya. Tali itu pula yang akan membawanya kembali kepada sang pemain layang layang. Nasib yang dialami sang layang layang pun akan terus menerus terulang. Ada dua pilihan jika si layang layang ingin lepas dari sang pemiliknya yaitu talinya putus--sang layang layang pun akan terbang bebas namun akhirnya tersangkut di sebuah pohon atau pilihan kedua yaitu rusak karena jatuh di sebuah kubangan air.


-Jaelani-

Rasa Senyap Yang Kian Membiru


Nestapa membawa duka
Harapan tinggalkan luka
Kenangan yang enggan ku buka
Meski penuh akan suka

Kau ; Pemilik rindu, penguasa candu
Aku ; Pemilik sendu, dalam persimpangan jalan yang buntu

Penantian ini kian membiru
Penopang pun kian meragu
Kini ku berada dalam titik haru
Rasa seolah berkata “Lebih baik ku buka lembar baru’


-Nisa MZ-
Oktober 2018

Tuan,masihkah kau disana?

Untuk tuan,
Yang mampu menenggelamkan tiap asa dalam tatapannya
Untuk tuan,
Pemilik teduh dalam tiap ucapannya
Untuk tuan,
Pelukis rindu yang kian menagih
Untuk tuan,
Tempat dari segala keluh yang tercurahkan

//

Kau memang mengagumkan
Bahkan terlalu mengagumkan untuk gadis sepertiku

//

Tentang kita,
Tentang Yogyakarta yang kala itu menjadi kota terhangat karena teduhnya malam --dan sikapmu
Tentang koridor sekolah yang kian menjadi tempat kita berpapasan pada saat itu --walau enggan untuk saling menyapa
Tentang komorebi yang selalu sudi untuk kutitipkan segumpal rindu untukmu
Tentang rasa yang diberi harap namun enggan menetap
Tentang sepaket kebahagian pada 18 Mei tahun lalu
Serta tentang puncak gunung yang diselimuti harapan kita berdua

//

Tuan,
Rasa ini rapuh
Hati ini kian ringkih
Harap ini kian resah
Impian ini kian patah

Walau asa ku kini direnggut nestapa
Semesta kian memberikan nelangsa
Harapku luntur sebelum jadi nyata
Badai kerapuhan kian menerpa

Kepadamu lah rasa ini akan tetap berlabuh
Meski luka lama tak lekas sembuh
Namun dirimu tetap utuh


-Nmz-
Bandung, 21 September 2018
12.28 Pm

Figuran

Dimana aku harus mencari kepastian?
Di relung hatimu, kah?
Di dalam ruang pilu ini, kah?
Atau,
Di dalam kisah kelam ini?

Aku memang tak pantas menuntut apapun
Lagipula,
Apa pentingnya aku dalam kisah ini?
Aku hanyalah sebagai peran figuran
Sedangkan kau dan perempuan pilihanmu itu berlari dan menari sebagai peran utama
Sedangkan aku?
Aku hanya datang ketika dibutuhkan
Aku hanya datang sebagai pelipur laramu

Semesta enggan membantuku keluar dari zona sesak ini,
Ia membiarkanku nelangsa bersama luka yang kau tanam
Semesta enggan pula membantuku membunuh waktu, waktu dimana hanya ada kau --dan aku
Ia membiarkanku tenggelam dalam masa kelam yang sama sekali tak kuharapkan

Pada akhirnya,
Aku hanyalah akan menjadi tempat singgah yang enggan kau jadikan sebagai tempatmu pulang.


-Nmz-
Bandung, 13 September 2018
9.52 Pm

Antipati

Katanya enggan menetap, namun mengapa malah singgah untuk jangka waktu yang lama?
Katanya enggan ingkar, namun mengapa terus menerus menaburkan dusta?
Katanya enggan menggoreskan luka, namun mengapa kau malah membiarkanku terjerembab dalam raga yang kian ringkih?

Untuk apa kau peduli?
Jika hanya untuk sekadar eksistensi
Atau sekadar mencari pengakuan diri

Kukira kau adalah rumah.
Kukira kau adalah tempatku pulang.
Kukira kau adalah tempatku menata semua harapan serta mimpiku tentang indahnya rindu serta penantian.

Ini realita, bukan sekadar cerita atau sekadar untuk formalitas semata.

-Nmz-
Bandung, 11 September 2018
8.16 Pm

Biarkan.. [Komorebi]

Biarkan rasa yang menjelma menjadi senyap ini menuangkan pilu dalam sebuah aksara yang sebenarnya enggan ia gurat
Biarkan pula kenyataan yang terjebak dalam ruang ilusi ini tetap bertahan meski atmosfer dalam ruang itu memaksanya untuk lekas pergi

Rasa ringkih ini pun sudah mampu membangun benteng pertahanan yang kian tegar walau diterpa semilir angin ketidakpastian

Biarkan ilusi ini terus membangun mimpi yang entah kapan akan terealisasikan.
Lagipula, mimpi tidak akan berlaku selamanya, bukan?
Mungkin, Nanti.
Ada saatnya mimpi serta ilusi yang terlanjur tumbuh besar akan luruh dengan sendirinya, kemudian menjadi kenangan yang pada akhirnya akan aku kubur dalam ruang pilu yang sesak dengan semua goresan luka

Kubilang nanti,
Bukan sekarang atau bahkan dalam waktu dekat ini
Aku yakin,
Rasa ini tak akan lagi tumbuh besar
Ia hanya akan menjadi lebih kuat bahkan tabah dalam menghadapi keapatisan sikapmu
Namun, seiring bertambahnya masa
Rasa pilu ini perlahan akan sirna, sampai akhirnya hilang

Kau membenci rasa itu?
Akupun.


-Nmz-
Bandung, 5 September 2018
21.56 Wib

Peran Mahasiswa di Era Milenial


Mahasiswa selalu disebut-sebut sebagai generasi pendobrak yang juga memiliki peran untuk berkecimpung dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki selama menjalani pendidikan. Tak hanya itu, mahasiswa juga berperan dalam agen perubahan serta sebagai penjaga nilai-nilai dalam ranah masyarakat.

Waktu akan terus berlajan, pun bersama masa yang terus mengikutinya, tak bisa dipungkiri kini kita tengah berada di Era Milenial, Era Milenial selalu diakitkan dengan segala bentuk kecanggihan teknologi dan juga tak bisa lepas dari titel ‘Kekinian’ . Internet serta sosial media pun menjadi pilar utama dalam kehidupan manusia, khusunya mahasiswa di era milenial ini.

Namun sayangnya, beberapa insan masih belum bisa memilah serta memilih antara kegiatan positif dan negatif di sosial media. Inilah masalahnya, mahasiswa generasi milenial yang seharusnya menjadi peran serta penopang dalam kemajuan bangsa ini malah melakukan hal-hal yang menyimpang. Ini juga yang harus kita perhatikan serta kita ubah, bukan berarti kita harus berhenti berkecimpung di dunia teknologi/internet. Sebagai mahasiswa di era milenial, kita harus mampu bijak dalam menggunakan media sosial, dengan tidak menjadikan media sosial sebagai tempat menyebarkan berita hoax atau bahkan malah menjadikan media sosial menjadi ajang penebar kebencian. Namun, jadikanlah media sosial sebagai tempat kita menyampaikan aspirasi positif yang mampu mengubah pola pikir masyarakat

Tak hanya itu, karena tingkat kecanggihan teknologi semakin tinggi, persaingan pun semakin ketat. Kita sebagai mahasiswa milenial harus mampu beradaptasi serta berkembang dengan cepat. Kita harus mampu membuka pola pikir kita agar lebih peduli dengan kehidupan sosial, karena bagaimanapun generasi muda Indonesia harus mampu menjadi mahir dalam segala bidang agar mampu bersaing dengan negara lain.

Inilah tantangan bagi kita,mahasiswa di era milenial. Apakah kita mampu mendobrak perubahan di era milenial ini? Karena musuh kita di era milenial bukan lagi para penjajah, namun ketidakmampuan dalam beradaptasi dan bersaing dalam ranah teknologi. Jadikanlah teknologi sebagai pilar kita untuk memajukan bangsa Indonesia.

Kau adalah generasi milenial, begitupun aku. Kita semua adalah generasi milenial. Namun, jadilah generasi milenial yang terdidik dan mempunyai semangat juang tinggi dalam melawan persaingan yang bisa menjatuhkan bangsa ini.

Salam Mahasiswa !

-Nmz-